Nepal, pengalaman di antara India dan Cina

Perjalanan ke Nepal sebenarnya sudah lama ada di kepalaku. Ini gara-gara temanku Amit, orang India, dan teman sekamarnya Pramod, orang Nepal. Pramod, yang juga guru bahasa Hindi untuk Foreign Student Association di kampusku, pernah cerita bahwa pacarnya (mahasiswi asing) pernah berkunjung ke rumahnya untuk beberapa hari. Dia pun menawarkan tempat tinggalnya untukku kalau aku ke Kathmandu. Tadinya aku sempat cemas karena Amit akan berangkat ketika aku harus pergi ke luar kota (Mumbai dan Pune, Maharashtra) dan aku pun tidak terlalu memikirkan rencana itu apalagi bersiap-siap. Tapi Amit batal berangkat dan rencana berubah. Ia memutuskan untuk berangkat setelah aku sampai di Delhi, dan memberitahuku sekitar tanggal 23, tiga hari sebelum keberangkatan. Aku yang belum pesan tiket di peak season ini cemas lagi. Bisa juga pesan tiket Tatkal (semacam emergency, baru bisa dilakukan 2 hari sebelum keberangkatan). Aku coba lewat internet dan booking lalu dapat urutan waiting list 26. Untunglah di hari H tiketku confirm juga dan aku dapat tempat duduk. Keajaiban pertama.

Kami berangkat tanggal 26 Juni 2010 dengan kereta Asr Kir Express. Dengan jadwal keberangkatan jam 14.00, kereta baru bergerak dari stasiun Old Delhi sekitar jam 7.40 malam. Terlambat datang dari Amritsar. Beginilah India. Di gerbong sleeper class aku duduk bareng 2 temanku ini di S5 (sleeper gerbong 5) dan berharap ada orang yang mau bertukar kursi denganku (S7 berth 1) biar aku ga mati kutu. Untunglah ada 1 orang yang mau 🙂 Di gerbong sleeper banyak orang yang sebenarnya tidak dapat tempat duduk, atau berbekal tiket waiting list itu. Mereka duduk di mana aja, tergantung belas kasih orang yang bernomor kursi, sebelum mereka menjadikan kursi sebagai tempat tidur (3 tingkat). Udara Delhi, Haryana, Uttar Pradesh dan semua yang kami lewati masih panas dan lembab. Duduk di dekat jendela berarti, di samping pemandangan, lebih banyak debu dan sinar matahari. Sengsara banget tiap kereta berhenti, seperti menyalahi kodratnya sebagai moda transportasi. Yang menarik adalah di tiap perhentian, di samping banyak yang menawarkan makanan kecil seperti samosa atau chana, orang-orang mengisi botol-botol minum mereka. Bagusnya India adalah pemerintah menyediakan air minum gratis. Dan orang-orang di peron pun dengan sukarela mengisikan botol ini ketika penumpang kereta cuma bisa menyodorkan botolnya lewat jendela, terutama jika kereta cuma berhenti sebentar. Tapi dengan catatan, bagi yang tidak bisa mencerna air ini, silakan beli air botolan (jangan lupa cek segel) hehe. Seorang anak perempuan mengajakku berbicara dengan bahasa Inggris (seperti biasa, aku sangat terlihat seperti orang asing). Jam 23.51 kami baru melewati 2 pemberhentian. Kereta terasa lambat. Orang-orang mulai ambil posisi tidur, termasuk di lantai. Yang laki-laki biasanya cuek aja pake celana pendek. Pramod akhirnya merengkuh haknya atas ranjangnya, yang tadinya juga ditempati Manisha dan ibunya (tiket ga jelas). Kami sebenarnya tidak biasa tidur sepagi ini. Seperti kata Amit, « Sleeping at 10 is a joke at JNU! » Aku menyaksikan seseorang menyogok petugas tiket dengan 50 rupee, mungkin agar dia dapat tempat duduk kosong atau sekedar diperbolehkan tidur di mana saja.

Aku tidur di berth atas. Kata Amit, « it would be safer for you ». Hmm. Sweater tipis unguku bertindak sebagai bantal, aku juga ga tau apakah dia akan berfungsi melawan dinginnya Nepal atau tidak (waktu aku ke Uttaranchal di India utara beberapa minggu sebelumnya, aku ga bawa senjata apa-apa, padahal malem agak dingin). Sepatu Amit hilang. Kejadiannya pagi hari setelah dia baca koran lalu ke toilet. Seingatku aku waktu itu juga baca koran, tapi kok ya gak nyadar. Amit misu-misu karena merasa ukuran sepatunya bukan ukuran standar, sepatu Pramod lebih berukuran normal. Mungkin sang pencuri sadar merek hehe. Eh, si raja tidur ini tidur lagi. Kalau Pramod sih masih bisa dimaklumi karena semalam dia harus berbagi tempat tidur dengan seorang gadis kecil (tapi tidurnya agak ke tengah) yang ga punya tiket bernomor tempat duduk. Tapi kalau Amit sih tidur karena hobi (maap!)

Mata uang Nepal adalah Nepali Rupee. Di Nepal, Indian Rupee (INR) diterima, tapi yang pecahan kecil, bukan yang 500 atau 1000. Ratenya gampang, 100 INR sama dengan 160 NR. Dan ini fixed rate, berdasarkan perjanjian kedua negara. Si Amit tuh yang jago mengkonversi harga-harga, juga ketika dia bayar pake INR dan tau berapa kembalian dalam NR (sangat berguna untuk diajak belanja).

Setelah sampai di stasiun Gorakhpur jam 4 sore, kami harus naik bis untuk sampai ke perbatasan India-Nepal. Pramod sudah mewanti-wanti aku untuk tidak berbicara dalam bahasa apapun ketika pemeriksaan di border. Bis ramai dan aku lapar. Untung masih ada biskuit. Bisnya jelek banget dan baru berangkat satu jam kemudian. Berhenti-berhenti pula kayak kopaja.. Udara di luar belum dingin. Aku mencari-cari kesan Nepal dari jendela, yang ada hanya sawah, rumah/toko dan langit, khas daerah terpencil. Kami sampai border jam 8.15 malam. Ambil rickshaw, Pramod sendiri dan aku sama Amit. Sudah gelap, tapi tidak ada satupun lampu penerang jalan. Aku lihat warung-warung dan money changer. Dan akhirnya melihat papan besar di gerbang bertuliskan ‘INDIAN BORDER‘. Agak tegang karena aku takut petugas menemukan pasporku di tasku. Masalahnya i’m travelling as an Indian, since Nepal-India have an open border. Jadi warga kedua negara itu ga perlu visa untuk berkunjung ke negara yang lain. In my case, seharusnya aku urus visa atau setidaknya visa on arrival. Tapi lucunya, bahkan si Pramod ga memikirkan hal ini. Kalo si Amit cenderung ke aku pura-pura jadi orang India, terutama karena tampangku mirip orang-orang northeast India. Masalahnya lagi, bahasa Hindiku jelek pisan euy.. apalagi gue ga tau sepatah katapun bahasa Nepal (kadang aku dikira orang Nepal juga). Itulah kenapa aku harus bungkam seribu bahasa… Kami melewati pemeriksaan petugas India, dan berikutnya adalah petugas-petugas Nepal. Pura-pura tenang, padahal aku pengen banget motret situasi unik ini… Tapi resikonya kan aku akan terlihat sekali sebagai turis (ilegal pula). Di depan rickshaw kami ada sepeda membawa karung besar. Dia nyerempet sepeda di depannya dan seorang petugas pun mengayunkan tongkatnya. Serem banget. Tapi untungnya aku jadi lolos walaupun rickshaw kami hampir menyerempet sepeda itu. I’m officially in Nepal.

Karena kehidupan publik di negeri ini berakhir jam setengah sembilan malam, kami tidak bisa langsung dapat bis dari sini. Jadi kami harus naik taksi sampai jalan besar yang biasa dilewati bis antarkota. Mobil jeep the-so-called-taxi ini lucu banget, setidaknya menurutku. Pertama, kami bukan penumpang satu-satunya, harus berbagi dengan penumpang lain sampai-sampai ada yang ngegantung di belakang. Ada kondekturnya juga. Aku duduk di sebelah kiri (kayak mikrolet) dan di belakang sopir, ternyata setirnya di kiri! Mobil Cina. Ada total sekitar  10 penumpang termasuk 2 orang duduk di tengah, di bangku kayu, di depan 2 orang penumpang lagi, bergelantungan 3 orang. Sopirnya kurus, agak gimbal, suaranya ngebass kayak Ryu-nya Saint Seiya. Penumpang di depan kanan mabuk, dipegangi oleh penumpang yang di tengah, yang agak muda. Dia nyengir, menghadap ke belakang, seperti ingin mencari perhatian para penumpang yang di belakang. Aku nyengir balik, tadinya ga tau kalo orang itu mabuk, kukira ngantuk aja. Jeep berkali-kali dipukul di bagian atas, entah itu sinyal untuk berhenti atau malah jalan. Suara klakson sangat menyedihkan, seperti bergema separuh korslet, nadanya berubah seiring kecepatan (mungkin ini perasaanku aja). Jeep ini sempat mogok juga, jadi mereka dorong. Di dalam, ada dua tiga orang bermata sipit, walau warna kulit agak gelap. Entah kenapa aku merasa agak tenang. Sedikit aku bisa membedakan bahasa Nepal dan Hindi., dari nada dan beberapa suku kata yang khas. Seorang penumpang asal India tak bisa membayar penuh tarif angkutan. Mungkin cuma bayar 10 rupee dari seharusnya 100. Setelah percekcokan, petugas ‘pelindung rakyat’ alias polisi pun dipanggil. Pramod dan Amit pun bertengkar mulut dengan lucunya. Amit bilang, « such a poor country, the police don’t have anything to do but to take care of this small thing. » Dan Pramod membalas, « look at India, the people are so poor they travel without being able to afford the transportation. » Kira-kira begitulah.

Jam 9 malam kami sampai di Bhodwal. Ternyata masih susah nyari bis yang ada tempat duduk (nyamannya). Si Amit menceritakan pengalaman buruknya ke Nepal pertama kali, waktu dapat bis menyedihkan, berhubung kakinya panjang jadi ga bisa duduk dengan nyaman, sedangkan perjalanan memakan waktu sekitar 12 jam. Ditanggung ga bisa tidur. Semua bis menyatakan dirinya bis terakhir malam itu. Kulihat sekeliling, warung kecil sekaligus wartel pun menjual bir dengan bebasnya. Amit menyarankan kami bermalam di daerah itu karena sudah malam plus capek n lengket banget (ga mandi 2 hari, bo) dan supaya bisa sekalian ke Lumbini, objek pariwisata yang dekat situ, tempat lahirnya Buddha. Ini karena mereka memesan tiket kereta balik yang berangkat dari Raxoul (sebelah tenggaranya Kathmandu), jadi gak akan lewat sini lagi. Dan bermalamlah kami di sana, mandi (akhirnya!), trus makan (akhirnya!) dan sekalian nonton World Cup.

Lumbini

Besoknya kami ke Lumbini. Yay. Naik bis sampai situ (sedikit ke arah border). Kami menyewa rickshaw untuk keliling di kompleks candi itu. Tiket masuk sebagai orang India ditangani Amit, aku menunjukkan student card aja. Amit berargumen aku orang north-east dan wajar kalau tidak berbahasa Hindi (ini akan berulang-ulang). Pertama kami melihat candi berhiaskan bendera-bendera doa yang berwarna-warni khas. Ada relic dari abad 3-6 SM, lalu ke candi di sekitarnya. Beli minum (tanda walah! alias yang dingin. We were sweating like pigs!) dan naik rickshaw lagi. Teringat Pramod yang bilang kalo dulu ongkos rickshawnya 150, dan usahakan ke candi Jepang yang baru dibangun itu dan yang posisinya agak jauh di tengah. Naik-turun rickshaw plus jalan-jalannya agak merepotkan karena kami harus membawa tas barang. Kalau punyaku sih agak kecil, tapi punya Amit gede (talinya sempet putus pula). Dan karena malas, aku sering menitipkan tas itu di rickshaw. Rickshaw-wallahnya pun berceramah bahwa di sini orang tidak boleh mencuri… Daerah ini cukup bersih karena orang dilarang membuang sampah sembarangan, terutama sampah plastik. Jarak antarcandi pun sukar ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi siapa tau kami akan berkunjung ke sana lagi, ternyata ada tempat penyewaan sepeda. Jadi tidak perlu terburu-buru dikejar tukang becak… Untungnya pemandangannya bagus. Desa banget. Sepi yang menenangkan. Beberapa candi belum selesai dibangun, seperti candi Korea (menuai kekecewaan Amit). Di candi Cina, ada patung Buddha yang suaaangaaat besar. Sayang kamera tidak diperbolehkan. Interiornya pun keren, mengingatkanku akan film-film Jet Li jaman dinasti Tang. Pas keluar, sang penjaga kuil mengisyaratkan agar aku membaca semacam poster yang dipajang di dekat pintu. Ah, dia pasti mengira aku orang Cina.

kuil Cina

Sayang aku tidak bisa membaca barang sepatah karakter pun, sangat memalukan 😛 Dan di kuil Tibet, aku liat kucing! My favorite creature on earth! Kucing adalah makhluk langka di Delhi, dan terakhir aku liat kucing pas ke Mumbai, sekitar seminggu sebelum ke Nepal. Sesampainya di kuil Jerman nan megah dan berwarna-warni, berjalan kaki melewati pematang sawah, kami diberitahu penjaga di sana bahwa kuil Myanmar yang dibilang rickshaw-wallah belum jadi, ternyata sudah jadi 4 tahun yang lalu. Hiks, kami dibohongi. Aku suka sama penjaga itu karena dia semangat banget jelasin tentang kompleks itu, walau aku ga ngerti hindi. Dia masih muda dan begitu ramah. Kupikir ini karena Amit orang India (semacam ‘abang’ bagi Nepal) dan aku tampak seperti orang asing. Amit pun bisa ngobrol dengan siapa saja, termasuk dengan si rickshaw-wallah. Di museum Amit tawar-menawar lagi alias ngotot kalau aku orang India, mengeluarkan kartu sakti jnu-ku. Anehnya, kata Amit satpamnya 100 persen yakin kalau aku bukan orang India. « She’s not Indian. » Tapi bisa apa dia, tiket sudah di tanganku. Aku membayangkan melambai-lambaikan tiket itu di hadapannya.. hehe. Setelah berdebat dengan rickshaw-wallah, dia setuju untuk mengantar kami kemana pun kami mau.

self portrait
kuil Thailand, Lumbini

Tiga kuil terakhir yang sempat kami pijaki adalah Thailand (keren banget, aku sempet self-portrait), India (terlalu sederhana dan mengada-ada, sekedar pengen eksis kata Amit) dan Myanmar (lebih mirip taman). Waktu pula yang harus mengakhiri kunjungan kami di sana, karena sudah jam 5.

Kami keluar dan beli minum (beli jus buah 2, bo. Satu buat stok). Belum makan karena teman seperjalananku yang vegetarian ini susah berselera kalau makanannya tidak higienis, terlalu spicy atau terlalu berminyak. Kami naik bis balik ke dekat perbatasan. Sudah malam, sempet tergoda untuk makan apel, karena kupikir itu praktis. Mungkin Amit ga tega, jadi kami mampir di sebuah dhaba. Aku pesan mutton momo, khas Nepal. Ga ada veg momo untuknya, cuma samosa. Seorang bocah laki-laki mengajak kami bicara bahasa Inggris, mungkin sekesar untuk latihan. Tapi dia cukup percaya diri. Waktu mau ke Bhodwal, kami sempat nyasar, perhentian kami terlewatkan. Jalan kaki lagi. Di suatu terminal, kami mendapat bis ke Kathmandu (rumah Pramod), tapi sayang tidak ada tempat duduk, jadi kami turun lagi di tempat perhentian kami malam sebelumnya. Selagi menunggu bis, seorang kondektur bis menyarankan Amit agar naik bis di atap. Amit menimbang ide ini. Karena tidak dapat bis juga, kami jalan lagi ke terminal yang tadi. Ditawari duduk oleh seseorang yang mengaku sopir bis dan taksi. Ramah juga, dan wajahnya unik. Amit bilang ke aku kalau ada bis lagi, biar aku duduk di dalam dan dia di atap. Itu akan menjadi satu petualangan. Aku bilang, mendingan aku ikut duduk di atap. Aku malah punya pengalaman duduk di atap bis waktu jaman demo ’98 haha. Beberapa orang mencoba ngobrol juga dengan aku, dengan bahasa Inggris. Jalan sudah sepi dan toko-toko di terminal pun sudah tutup. Di belakang kami, seorang anak tergolek tidur. Beberapa bis lewat dan beberapa penumpang yang juga mau ke Kathmandu kecewa. Entah karena bis bertujuan ke Pokhara atau karena tidak ada tempat duduk. Akhirnya kami mendapat bis, dan Tuhan seperti mengabulkan keinginan Amit: kami kebagian di atap, sebagai penumpang gelap.

Bhodwal – Kathmandu

Atap bis dilengkapi dengan jeruji. Mungkin untuk mengikat muatan barang atau untuk pegangan penumpang hehe. Jeruji ini cukup mengganggu tulang punggung kami yang ingin rebahan dan meluruskan badan. Kami menggelar terpal yang fungsi sebenarnya adalah melindungi barang dari hujan. Kami pun berebah dan memandangi langit malam dan ujung-ujung tiang listrik, sambil berpegangan erat ke jeruji terutama ketika bis belok. Angin mengacak-acak rambut kami. Kami diam, sadar bahwa inilah petualangan yang kami cari, walau itu berarti membayar ongkos bis lebih mahal. Setelah aku agak mengantuk, ternyata gerimis turun ke wajah kami. Cuma sebentar, dan aku bilang, « tak akan hujan, trust me. » Ternyata aku keliru. Hujan datang dan makin lebat. Kami pun seperti berenang di terpal yang menampung air itu. Di satu perhentian aku memutuskan untuk pakai payung untuk menghalangi air langit. Ternyata angin yang menerpa tidak bersahabat, tak lama payung pun patah. Kami pun ikut-ikutan sesama penumpang atap, menggunakan terpal sebagai tenda. It’s a much better idea. Kami pun berlindung dengan cara ini sampai pagi, karena hujan menolak berhenti. Tas kami basah semua.

Jam 5 pagi, ketika matahari mulai tampak, hujan berhenti dan waktunya pas untuk melihat pemandangan. Gunung, awan dan sungai sungguh indah dan tak pantas untuk tak disaksikan. Lucunya, tiap ada pos pemeriksaan, kami harus kembali sembunyi di bawah terpal. Sepanjang perjalanan memang banyak pemeriksaan karena Nepal gerakan Maoist/ Naxalism sering terjadi. Setelah melewati pemeriksaan, penumpang di bawah pun berteriak, « hogaya! » alias « sudah ». Ah, mereka peduli juga.

Kathmandu

Sekitar jam 8 kami sampai di terminal Kalanki. Naik bis dua kali untuk mencapai rumah Pramod di daerah Lokantali. A great view. Entah kenapa aku selalu suka dengan jalan yang naik-turun, mengingatkanku akan seting beberapa film atau serial di eropa atau amerika serikat. Kota inipun dikelilingi gunung, aku teringat Bandung, dimana aku pernah tinggal selama lima tahun. Orang-orang bermata sempit. Bis yang sama rusuhnya dengan India. Tapi selera musiknya beda, ada sentuhan ska atau rock, reggae dan hiphop (tidak cuma hindi). Sampai di rumah Pramod, aku suka juga karena lantainya berubin kayu. Setelah meletakkan bagasi di kamar Pramod, kami mandi (akhirnya!) dan langsung makan (akhirnya!). Makanan Nepal pertama yang mampir di lidahku. Sebenarnya ga jauh beda dengan masakan India sih, nasi (chapati untuk Amit), dhal dan aloo bhujia. Ada rempah yang tidak bisa kuidentifikasi di dhal-nya. Tapi yang penting rasanya enak, berhubung kami sungguh teramat lapar. Porsi nasinya banyak, jadi gak abis. Di rumah ada bokap, nyokap dan saudara perempuannya Pramod 3 orang. Pramod anak pertama, laki-laki sendiri. Saudara-saudaranya kuliah di India juga, sehingga aku bisa ngobrol dengan mereka karena mereka berbahasa Inggris. Aku dipinjami celana trus jemur baju-baju yang kuyup. Kami tidur di kamar tamu di lantai 3 yang baru dibangun. Rumah ini kayak rumah khusus liburan banget, kayak villa. Jendela-jendela besar. Bahkan jendela kamar mandi pun besar. Aku harus berlindung di belakang pilar karena takut ada yang bisa mengintai hihihi. Ada banyak pohon termasuk bougainville dan plum. Di salah satu pohon, ada sarang gagak yang digusur, tapi tidak menghalangi mereka untuk kerap datang.

Bangun tidur, aku bertemu dengan calon pengantin, nama panggilannya Manu. Cantik. Ibunya Pramod juga cantik. Dia menyodorkan lamaran seorang gadis untuk Pramod, mahasiswa India. Pramod pun berkelit, cewek-cewek Nepal lebih cantik (ini memang rahasia umum). Sore sekitar jam 4 kami jalan ke  New Road dan Durbar Square. Ini memang tempat turis karena banyak suvenir, tapi juga tempat pemuda-pemudi setempat nongkrong. Mirip Kota Lama Batavia. Jalanannya pake paving block. Lihat barang-barang dan pakaian khas Nepal. Ngiler liat gelang. Kami jalan lagi menuju terminal bis Ratna Park. Mampir di salah satu kedai momo dan Pramod pun memesan buff momo (daging lembu). It was good. So Nepali…

Thamel, Swayambhu

Keesokannya kami terpaksa bangun pagi (untuk ukuran jnu), sekitar jam 5.30, karena berisik. Maklum, mereka harus menyiapkan segala sesuatunya untuk pesta pernikahan yang tinggal beberapa hari lagi. Jam 4 pagi pun ada alarm henpon nyala, entah henpon siapa. Setelah beberapa kali berdering, aku berinisiatif mematikannya. Ada yang membersihkan kamar juga ketika aku masih (terlihat) tidur. Sekitar jam 8 kami sarapan (seseorang bilang « kita tidak tahu kapan kita akan makan berikutnya »). Baru sekitar jam 11 kami keluar rumah dan menikmati Kathmandu lagi. Sebenernya tadinya aku pikir kapan lagi aku ke Nepal, aku harus menjelajahi apapun yang aku bisa, terutama di luar Kathmandu. Tapi aku sadar bahwa aku membebani dan tergantung orang lain, jadi aku nikmati saja apa yang ada. Toh Delhi waktu itu seperti neraka, dengan puncak suhu 45 derajat. Di sini pun aku mandi pakai air dingin (gak mau pake heater), kasur empuk dan makan terjamin (di rumah). I can’t, I musn’t complain. Jadilah kami jalan ke pusat daerah turis di Durbar Square. Ada toko-toko merek internasional, KFC dan Pizza Hut. Kami melewati istana raja Birendra yang sekarang jadi objek wisata itu, tapi waktu itu tutup. Kami menjelajahi gang-gang Thamel, dan kebanyakan mereka menawarkan peralatan kemping atau trekking atau extreme sports beserta paket-paketnya. Mampir di toko buku, juga naksir rok bergaris-garis, tapi kami tidak beli apa-apa. Mampir ke kedai kopi karena aku udah sakaw. Nama kedainya menarik, Himalayan Java. Walaupun ruangan tidak ber-AC, aku teringat suasana solitary evening Jakarta. Kami jalan lagi, melewati kedutaan besar AS, dimana ada toko minuman keras yang keras kepala dengan letaknya di pinggir jalan raya, dengan kedutaan itu di sisi kiri dan kanannya 😀

Dari Ratna Park kami naik bis menuju Swayambhu. Petugas karcis tidak percaya bahwa aku orang India, dan bahkan dia menyebut negara-negara seperti Filipina, Malaysia, Indonesia… (ngakak dalam hati sekaligus sedih). Tapi, setelah menaiki tangga yang sangat tinggi, pemandangan lembah dari kuil ini sungguh indah. Eh, pas kami keluar, ternyata ada jalan masuk tanpa pemeriksaan karcis. Pulangnya lagi-lagi kami nyasar dan harus berbagi taksi dengan orang setempat. Sepertinya kami jadi membayari orang itu… Malam itu aku tidur tanpa net nyamuk, jadi nyamuk lah yang membangunkanku setelah meninggalkan bekas-bekas gigitan di kakiku.

Patan Square, Zoo, Bhrikutimandap Market

Bangun pagi lagi-lagi, jam 6.30. Aku ga bisa online di warnet karena katanya baru buka jam 9. Aku cuma beli mangga 2 kilo untuk orang-orang rumah. Agak membosankan juga kalau kami cuma berdiam di rumah. Jadi kami ke terminal Lagan Khel untuk ke Patan Square. Dari terminal, jalan kaki 10 menit cukup untuk mengantar kami ke sana.

Patan Durbar Square

Dan seperti di Kathmandu Square, kami bisa masuk tanpa bayar karcis, dengan trik. Tapi kompleksnya biasa aja, mirip Kathmandu sq. tapi lebih sepi. Kami pun melanjutkan perjalanan ke kebun binatang. Banyak toko baju di jalan, tapi koleksinya gitu-gitu aja. Kebun binatangnya pun biasa aja, lebih terlantar dan koleksi minim. Tapi ada siamang dari Indonesia, badak bercula satu, burung unta, kucing liat, elang amerika dan buaya. Kami kembali ke Ratna Park dan memasuki salah satu mal. Ternyata pasar ‘bawah tanah’ lebih menarik bagi kami, yaitu pasar Bhrikutimandap, dimana kita bisa menemukan barang apa saja dengan harga miring. Aku dapat rok garis-garis, sarung batik (batik dari Indonesia berlimpah!) dan kaos Nepal.

Malem tidur bareng Canda, adiknya Pramod. Dia bangun jam 5, aku jam 6.30. Manu the bride-to-be dilulur dan cuma perempuan aja yang diijinkan melihat. Mereka melantunkan lagu tradisional, panjang tapi nadanya berulang-ulang. Aku mandi dan setelah selesai ternyata uda ditinggal sama cowok-cowok itu. Kurang ajar. Jadilah aku ke warnet berhubungan dengan dunia luar. Menurut kabar, Delhi masih panas. Aku menelpon seniorku yang tinggal di Kathmandu juga. Janjian untuk ketemu salah satu dosen yang kebetulan ada di sini juga. Pas pulang, kedua temanku sudah ada. Pramod bilang mereka pergi trekking. Ternyata kata Amit, itu cuma bisa-bisanya Pramod yang butuh dia buat megangin undangan haha. Abis makan, aku tukar uang dan pinjam payung.

King’s Palace

Tujuan pertama hari itu adalah istana. Setelah bayar tiket masuk, kami sempat foto-foto di depan karena di dalem ga boleh. Tempatnya sih gak terlalu mengesankan. Sederhana. Mungkin karena ukurannya juga. Ada foto-foto kunjungan kenegaraan. Ada medali-medali. Ada kamar baca, kamar tidur, ruang makan, dsb. Yang agak berkesan mungkin pas di taman dan kita melihat sendiri bekas peluru yang menghabisi nyawa sang raja dan mengakhiri kerajaan itu waktu kudeta tahun 2001. Hujan. Kami berteduh dan bercakap-cakap.

Palace

Setelah itu kami berjalan sampai ketemu wartel. Pramod akan menemui teman-temannya di salah satu cafe ke arah rumahnya, dekat Everest Hotel. Salah satu temannya adalah Natalia, sukarelawan yang suka anak-anak dan pernah datang ke jnu. Kami pesan hot mocha (enak) dan pizza margherita (anchurr). Dari situ kami kembali ke tengah kota, ke pasar tertua di Kathmandu. Akhirnya aku beli gelang dan kalung, yippie! Sebenarnya susah cari oleh-oleh yang khas Nepal, karena kebanyakan barang sama dengan India, patung-patung Buddha misalnya. Ada yang menarik seperti incense stick case, asbak dan gembok kuno warna hijau, tapi mahalnya seabrek-abrek. Kami seharusnya pulang jam 8.30, batas waktu tersedianya bis di kota ini. Tapi kami lupa waktu setelah jalan ke Durbar marg dan makan di KFC dan Hot Breads yang roti-rotinya diskon setelah jam 8, kalau tidak salah. Spinach quiche dan cheese plate. Akhirnya kami jalan kaki… jauh sekali, lewat Koteshwor dan terus lagi. Sempat mendengar kehebohan Schneider mencetak gol untuk Belanda. Aku suka dengan suasana kota itu. Agak metropolitan, dengan billboardnya (kangen Jakarta mungkin), walau udah agak sepi dan gelap. Kabel-kabel yang rapi. Tidur pun mudah sekali karena lelah yang kesangatan. Jam 4 pagi Canda sudah bangun.

Bhaktapur Square, kasino

Kami memulai kegiatan di luar rumah hari itu agak pagi, jam 10. Sebelumnya aku menyaksikan semacam prosesi di teras di loteng, ada semacam kuil dadakan. Barisan perempuan bersari, terutama dari negara bagian Bihar di India, menyaksikan prosesi ini. Sudah banyak tamu datang di rumah ini, Pramod menantikan 75 orang di rumah 4 lantai ini. Sumpek juga rasanya kalau kami berdiam di rumah. Kami harus balik jam 3 sore, padahal tujuan kami dekat dan tidak terlalu banyak yang bisa dilihat atau dilakukan.

Bhaktapur Durbar Square

Bhaktapur, tempat yang cukup menawan. Jalan menuju tempat itu dari jalan raya menanjak. Di kanan-kiri jalan ada bangunan-bangunan kuno setipe dengan Durbar Sq. Kami bertemu dengan seorang turis asal Cina yang sebelumnya kami temui di King’s Palace. Mereka juga berencana ke Pokhara, mungkin lima atau tujuh hari ke depan. Kami sempat berhenti di warnet-cum-wartel. Ada restoran dengan nama-nama lucu. Ada tempat jualan suvenir. Di kuil yang lumayan gede, kami duduk mencari angin setelah bosan memotret dan menolak tawaran guide. Pulangnya lagi-lagi nyasar karena kehilangan orientasi di jalan yang lurus itu 😛 Tapi karena udara panas dan berdebu dan banyak truk lewat, aku menolak jalan kaki dan kami naik bis.

Malamnya kami ke kasino di sebuah hotel. Sayangnya pengunjung hanya dibatasi untuk turis asing, sehingga Pramod tidak bisa menemani kami. Aku menyiapkan kartu tanda beasiswaku (ada tulisan kewarganegaraanku), tapi ternyata pemeriksaan tidak terlalu ketat. Dan cukup Amit yang bertampang India. Di dalam, jangan membayangkan tempat semacam settingnya Ocean’s Eleven, Twelve atau Thirteen hehe… karena di sini sangat sederhana. Ada dua sayap berisikan mesin-mesin slot, di tengah adalah meja-meja permainan kartu dan rolet dan sebagainya, di sebelah kanan meja-meja makan beserta layar lebar untuk nonton bola dan panggung untuk pertunjukan dance dan di sebelah kiri bilik-bilik tertutup. Jangan juga membayangkan tarian yang terlalu sensual, karena anak-anak beredar di sini. Kostum para penari cukup modern. Ada breakdance dan tarian Arab. Argentina-Jerman berakhir 0-4. Kami memesan minuman keras lalu makan malam. Koin pertamaku di mesin slot membuahkan hasil beberapa koin (dasar hoki!)… hehe. Maybe it’s just beginner’s luck. Pulang naik taksi gratis pula.

The wedding

Keesokannya, kami masih di rumah waktu makan siang. Aku bergabung dengan perempuan-perempuan duduk di luar rumah, beralaskan karung goni dan makan dengan tangan. Aku pernah dapat perlakuan sama ketika makan pas Bengali Night di kampus. Beberapa laki-laki membagikan makanan satu-per-satu. Nasi, dal, bindi (lady’s finger), dan lain-lain. Tidak ada sendok. Makanya Amit tidak di sini, melainkan di meja makan, duduk dengan rapinya dan makan dengan sendok. Rumah super ramai. Ini adalah hari-H pesta perkawinan itu. Sang pengantin sedang didandani. Anggota keluarga yang lain sibuk dandan atau memakai sari. Chanda pakai jas. Natalia datang dengan sari biru muda polos. Gedungnya tak jauh dari rumah, cuma 15 menit jalan kaki tapi aku sempat nebeng motor.

Pengantin perempuan

Ini resepsi pernikahan Nepal/India pertama yang kudatangi. Pertama sang pengantin perempuan duduk di pelaminan bersama ibunya, tanpa pengantin laki-laki. Para tamu menyalami, memberi hadiah lalu makan buffet. Tersedia kursi namun tak ada musik yang mengiring. Makanannya, seingatku ada aloo tiki, veg momo (saosnya enak pisan), makanan india standar termasuk papad, di bagian makanan penutup ada dahi (curd), jaelabi dan gulab jamu. Ada meja terpisah untuk hidangan non-veg seperti daging ayam dan kambing. Pramod dan ayahnya sibuk menjamu tamu. Anak-anak kecil penasaran dengan cara kerja kamera. Baru jam 9 rombongan pengantin laki-laki datang dengan hebohnya. Di awali dengan barisan marching band. Setelah pengantin laki-laki naik ke pelaminan, ada ritual menyentuh kaki orang tua dan mertua. Aku duduk bersama anak-anak yang bisa bahasa Inggris. Mereka bilang mereka memperlakukan pelancong bak dewa. Dan ini terbukti, setidaknya mereka mempraktekkannya. Ketika aku sedikit batuk, anak itu langsung mengambilkanku segelas air 🙂 Setelah makan-makan lagi, ada ritual yang lebih panjang di luar gedung, di pondok kecil, dengan pendeta dan asistennya. Kami menikmati vodka yang sudah lama disimpan di bawah kasurnya Pramod…

Bangun jam 5.30 pagi dan keramas, bow. Aku bersiap-siap meninggalkan rumah itu, tapi ternyata ada tawaran untuk pergi ke perbatasan Nepal-Cina bersama pamannya Pramod. Pramod sendiri berencana untuk tidak ikut karena masih lelah, tapi dia menyarankan kami untuk pergi ke sana. Kami terpaksa mengundur jadwal untuk ke Pokhara atau Manokamna karena hal ini. Sayangnya hingga siang hari pamannya Pramod tak kunjung datang. Lalu kami ke kota mencari agen bis dan tanya-tanya rute dan harga. Dari Ratna Park kami ke Kalanki dan memutuskan untuk langsung datang dan cari bis besok pagi-pagi sekali. Di tengah perjalanan pulang, kami mampir ke toko sweets untuk oleh-oleh.

Manokamna

Kami berhasil meninggalkan rumah sekitar jam 7 pagi. Membawa tas, kami berpamitan dengan pemilik rumah. Dari jalan raya kami beruntung dapat bis yang langsung ke terminal Kalanki. Dari situ kami naik minibus, duduk di jok belakang diapit dua orang India yang baru saja dari Pokhara. Mereka bilang Pokhara kotor. Di tengah perjalanan minibus berhenti untuk makan pagi/siang. Kami cuma beli pisang dan menghabiskan satu sisir. Ada makanan kecil khas sini, semacam ikan yang digoreng kering, tapi aku belum berani coba.

Manokamna adalah tempat wisata dengan kereta gantung atau cable car. Dari kereta gantung kami menuju ke ketinggian sekitar 1300 m di atas permukaan laut. Pemandangan penuh dengan pepohonan, gunung, awan, sungai dan sawah. It was amazing. Perjalanan memakan waktu sekitar 15 menit. Waktu beli tiket aku bingung juga ada harga untuk goat alias kambing, sekitar 150 NR. Ternyata emang ada orang yang membawa kambing ke atas sana, juga burung dara.

Setelah sampai, objek berikutnya adalah Manokamna Temple. Di sinilah kambing dan burung itu akan berguna. Setelah menitipkan alas kaki, kami mengantri untuk masuk ke kuil itu. Antrian sangat panjang, ke atas. Sepertinya kami berdiri selama 2 jam. Banyak yang menjual sesajen dan suvenir di tepi jalan sempit menanjak itu. Ada orang yang mengira aku orang Nepal, tapi berubah pikiran setelah mendengar aku berbicara bahasa Inggris. Sempat ada perkelahian, kami kira gara-gara ada yang memotong antrian yang memang bikin kesal itu. Suara lonceng semakin kencang. Mendekati pintu masuk kuil, aku melihat semacam tempat penjagalan, dengan darah dan bahkan kepala kambing kecil. Ini menjelaskan bau-bau aneh yang kucium dan tetes-tetes merah di jalan. Hmm.. agak mengerikan. Di kuil kami membunyikan lonceng yang bergantungan di langit-langit satu-per-satu, besar dan kecil. Persis di pintu kuil seorang tentara berjaga, agar tidak ada yang merekam di dalam. Ruangan sangat sempit dan aku sebenarnya tidak tahu harus berbuat apa, karena kami tidak membawa sesajen. Ternyata aku dikasih sesuatu di dalam plastik dan dahiku diberi bubuk merah agak oranye. Isi plastik itu sepotong kelapa tua dan kembang sepatu. Setelah mencuci kaki dan memakai kembali sandal dan sepatu, kami makan siang di restoran vegetarian. Kami memesan thali, rajma dan sayuran hijau lokal (nambah 2 kali). Lalu kembali turun dengan kereta gantung.

Pokhara

Kami mengambil tas barang dari penitipan dan mencari bis menuju Pokhara. Bis kami nyaman, seukuran kopaja. Sayang kami harus ditransfer ke bis lain di tengah jalan. Lucunya, aku langsung mengenali kondektur bis kami, sopir berbandana yang ngobrol dengan kami di terminal di Bhodwal! Kami ragu bahwa dia mengenali kami. Dia melayani kami dengan biasa saja. Perjalanan agak membosankan dan kami tiba di Pokhara malam hari, sekitar jam 8. Seturunnya kami dari bis, banyak orang berbahasa Inggris menawarkan hotel, dengan kata kunci lakeside. Kami pun turut dengan satu orang dan masuk ke taksi. Untungnya kamarnya lumayan dan daerahnya strategis, jadi langsung kami ambil karena tak mau mencari-cari lagi di kegelapan.

Pokhara, 200 km ke arah Barat dari Kathmandu, sebenarnya lebih seru bagi pencinta trekking, hiking, dan olahraga seperti paragliding, rafting dan mountain biking. Bagi kami, Phewa Lake, danau terbesar kedua di Nepal, tetap menawan.

Davi's Fall

Esoknya kami ke air terjun Davi’s Fall. Aku terkesima berat oleh pelangi yang terbentuk di atas aliran air. Pertama kami kaget melihatnya karena tiba-tiba dimana-mana ada pelangi, dan bahkan dari sudut tertentu bisa ada dua pelangi! Ajaib. Lalu kami ke beberapa gua di Mahendra Cave yang saling berdekatan. Dari dalam gua kami bisa melihat kelanjutan aliran air dari Davi’s Fall. Sejujurnya aku agak serem masuk ke gua-gua ini. Pertama karena jalannya licin, gelap, ada bau-bau aneh, dan rasanya seperti gloomy dan purba sekali 😛 Di dalam gua ini ada juga kuil Hindu dewa Mahadev.

Dari sana kami melewati daerah Old Bazaar, dengan rumah-rumah tua, kuil dan penduduk etnis Newari, dan menuju ke Bindabasini Temple.

Bindabasini Temple

Kuil ini tempat pemujaan Dewi Durga dan kerap dikunjungi istri-istri. Konon kuil yang paling terkenal di Pokhara ini adalah salah satu kuil tertua di lembah Pokhara. Pernikahan Hindu juga bisa dilaksanakan di sini. Kami mengakhiri hari itu dengan berjalan di tepian danau Phewa. Beberapa restoran dan cafe di pinggir danau ini menyajikan makanan internasional. Di tengah danau ini terletak Barahi Temple, yang bisa dicapai dalam waktu 10 menit saja dengan perahu. Perahunya pun bisa disewa per jam.

Hari berikutnya kami mampir di Tourism Board, ambil beberapa brosur, lalu jalan kaki lagi menuju World Peace Pagoda. Kami mendaki selama sekitar 1,5 jam. Seorang pejalan kaki menyarankan kami untuk lewat tangga karena lebih cepat. Di sana, untuk kalangan yang lebih mampu, ada helipad. Sesampainya kami di pagoda serba putih itu, kami pun tepar di lantai marmer yang dingin.